Tiba-tiba saja, aku merasa gelisah ketika aku sadari jarum detik yang sedang bergerak itu telah merapat. Hmm… Harum sekali bau yang aku cium dari nya. Selama ini aku hanya bisa membayangkan saja seperti apa wanginya. Aku pernah mendengar orang-orang memperbincangkan wanginya.
Wangi ini semakin membuat daya khayalku bertambah kuat. Kali ini aku membayangkan seperti apa rupanya. Aku mencoba membayangkan keindahan seperti apa yang menghasilkan wangi seperti ini. Aku mencoba membayangkan keelokan seperti apa yang tersimpan di sosok itu. Aku bahkan mencoba membayangkan bagaimana dia menyentuh aku. Di sisi lain aku juga menbayangkan keburukan apa yang tersimpan di balik semua itu. Aku berusaha untuk mematikan semua panca indera yang aku punya, agar aku bisa benar-benar membayangkannya, tetapi wangi itu ternyata bisa meresap ke dalam jiwa ku, sehingga bayangan yang ada dalam khayalku hilang sebelum benar-benar sempurna.
Saat aku pertama kali tahu bila dia semakin dekat, aku merasa sangat takut.
Beberapa hari setelah itu, aku tidak pernah bisa berpikir dengan jernih. Aku selalu saja berusaha mencari kambing hitam penyebab semua ini. Aku menyalahkan orang lain yang tidak pernah peduli terhadap diri ku. Aku menyalahkan diri aku yang peduli terhadap orang lain yang tidak pernah peduli itu. Aku menyalahkan peliharaanku yang menyita hampir seluruh waktu yang ada dalam sehari. Aku menyalahkan aku yang mau saja waktu yang ada dalam sehari disita oleh peliharaanku. Aku menyalahkan dunia yang tidak pernah berhenti berputar. Aku menyalahkan aku yang tidak pernah mau mengikuti putaran dunia. Begitu saja seterusnya, setiap kali aku mengkambing hitamkan sesuatu, selalu saja ternyata aku yang salah. Ternyata, aku lah kambing hitam yang sebenarnya.
Ah… Jarum-jarum penunjuk waktu kembali menyita perhatianku diantara wangi yang masih terus membayang. Entah kenapa aku merasa kasihan terhadap mereka. Apakah mereka tidak pernah lelah menghadapi rutinitas yang mereka jalani? Apakah jarum penunjuk jam tak pernah iri terhadap jarum penunjuk menit akan kecepatannya berputar? Apakah jarum penunjuk menit tak pernah mencoba untuk tidak patuh akan putaran jarum penunjuk detik? Apakah jarum penunjuk detik tidak pernah lelah berputar begitu cepat dan iri akan santainya jarum penunjuk jam berputar? Apakah sebenarnya mereka memendam kebencian satu dengan yang lainnya tapi tak pernah bisa mengungkapkannya karena mereka harus patuh terhadap kediktatoran sang waktu yang tak pernah memberi kesempatan mereka berhenti berputar dan mengungkapkan kebencian mereka satu dengan yang lain? Lalu apakah mereka tahu bahwa aku selalu mengharapkan kalau mereka bisa bisa berputar terbalik arah, hanya untuk sekedar mengulang kembali masa indah yang entah kenapa lebih cepat berlalu dibandingkan masa kelam yang hadir dan seakan tak pernah berakhir? Apakah mereka mengutuki aku karena aku berharap begitu? Aku yakin aku tak akan pernah bisa tahu.
Wangi ini masih terus hadir sementara aku tersadar dari semua pertanyaanku tadi. Aku teringat saat aku mencoba mencari penjelasan akan semua ini dalam seluruh literatur yang ada. Tak satu pun bisa memuaskan dahaga yang begitu menguasai pikiranku. Semua itu seperti air laut. Semakin banyak aku meminumnya, semakin menjadi dahaga yang ada. Tapi aku tak pernah bisa punya pilihan untuk meminum air tawar, karena semua yang ada tersama sangat asin bagiku.
Tapi, entah kenapa diantara keseragaman rasa yang ada, semuanya menjadi sebuah kontradiksi yang tak pernah ada akhir. Aku seakan menciptakan sebuah mahluk dalam bayanganku yang terus menerus berubah wujud tanpa aku bisa mengontrolnya dengan pikiranku sendiri.
Dia sudah semakin dekat. Entah kenapa aku tahu itu dengan begitu yakinnya. Padahal aku tak pernah melihatnya secara nyata. Dia juga tak pernah mengeluarkan suara yang bisa menandakan jarak yang tercipta antara kami berdua. Wanginya pun tak bertambah kuat atau menjadi lemah. Tapi aku tetap yakin. Seyakin aku tahu kalau kalian pernah merasakan hal seperti ini, dalam kasus yang berbeda dan tentunya tak sama dengan ku. Maksudku, keyakinan yang timbul entah dari mana, tanpa pernah kalian bisa jelaskan kepada orang lain apa alasannya. Hanya keyakinan yang ada itu lah yang akhirnya menjadi satu-satunya alasan. Tapi, bila kalian tak mengerti juga, aku hanya bisa meminta maaf karena telah membuat kalian bingung, walaupun mungkin kata maaf tak akan pernah cukup, paling tidak aku mencoba untuk tulus.
Kini, aku sedikit mulai rasakan kebahagian muncul. Entah kenapa rasa itu menyeruak diantara rasa yakin yang ada. Aku dapat rasakan ujung bibirku mulai menyungginkan sebuah senyum. Semakin lama aku rasa itu semakin lebar. Aku tak perlu melihat cermin, tapi aku tahu aku kini sedang tersenyum. Lebih tepatnya, aku memilih untuk merespon rasa bahagia yang muncul ini dengan senyum dan aku memilih untuk membiarkan senyum ini terus melebar. Karena aku ingin menikmati saat ini, saat aku masih bisa tersenyum sebagai respon atas sebuah kebahagiaan. Semua pertanyaanku tadi pun seakan terjawab, hanya oleh sebuah senyum yang mengembang.
No comments:
Post a Comment